Drama itu bernama Parma

Hebat sekali penderitaan Parma. Bertubi-tubi. Sulit diterima dengan logika sehat ketika sebuah klub dengan sembilan trofi dalam 10 tahun, dan pernah dihuni sederet bintang terang itu, kini berlumur masalah. Pahit! Menyesakkan! Tragis! 

Mau tahu? Ini dia: para pemain dan ofisial Parma sudah delapan bulan tanpa gaji. Mereka, 22 Februari lalu, juga tak bisa menggelar partai kandang vs Udinese sebab tak mampu membayar jasa stewards, pengaman pertandingan.
Sebentar lagi, 1 Maret, saat away ke Genoa, Parma tidak ada uang untuk biaya transportasi. Konon, mereka akan tetap berangkat dengan empat mobil sewaan, berimpitan. Bahkan, sebelum menuju Genoa, latihan di Ennio Tardini sudah tanpa refreshment. Tanpa minum, tanpa buah, tanpa baju ganti.
Semua jersey latihan pun harus di-laundry sendiri. ‘Berdarah-darah’ memang. Pemanas air tidak ada. Musim dingin saat ini, pemain mandi dengan air dingin. Banyak yang jatuh sakit. Latihan apa adanya. Petugas kebersihan tidak ada.
Situasi klub bak mayat hidup. Toko merchandise mereka sudah tutup. Yang juga bikin miris, barang-barang yang ada di ruang ganti pun dilego, termasuk kursi yang biasa diduduki pelatih Roberto Donadoni. Benar-benar bikin masygul.


Donadoni, kursi yang didudukinya itu kini sudah tak ada
Dan semua cerita pahit itu muncul dari Liga Italia Serie A, kompetisi berusia satu abad lebih dan kini peringkat empat Eropa di bawah La Liga, Premier League dan Bundesliga, atau peringkat kelima dunia versi IFFHS.
Bagaimana bisa? Intinya klasik: kolaps! Bangkrut!
Padahal, Parma pernah dihuni sederet selebritas hebat macam Gigi Buffon, Alessandro Melli, Luca Bocci, Tomas Brolin, Gianfranco Zola, Hristo Stoichkov, Juan Sebastian Veron, Tino Asprilla, Dino Baggio, Fernando Couto, Roberto Sensini, Fabio Cannavaro, Hernan Crespo, Lilian Thuram hingga Mark Bresciano.
Padahal, Parma pernah ditukangi sederet pelatih hebat macam Arrigo Sacchi, Zdenek Zema, Nevio Scala, Carlo Ancelotti, Alberto Malesani, Daniel Passarella, Cesare Prandelli, Stefano Pioli, Claudio Ranieri, Hector Cuper dan kini Donadoni.
Lewat merekalah nama Parma melambung menjadi kota yang sangat mendunia, enak dilafaskan dan menjadi salah satu wish-list saya. Padahal, Parma hanya sebuah kota kecil yang penduduknya cuma 200 ribu jiwa saja -- tak lebih banyak dari Bekasi Selatan, kota kecamatan di kota Bekasi.
Parma, meski belum merebut mahkota Serie A, pernah memenangi tiga trofi Piala Italia, satu Supercoppa Italia, dua Piala UEFA, dan satu Piala Winners UEFA. “Kami solid,” paling tidak ini yang diucapkan Brolin kepada saya serta rekan Ronny Pangemanan suatu saat di London.
Kini, soliditas itu tidak ada lagi. Parma tersungkur, pecah dan berkeping-keping. Mereka kini ada di dasar klasemen dengan hanya sembilan poin dari 21 laga --- satu poin dikurangi karena kasus penggelapan pajak dan tunggakan gaji.
Ada dua partai lagi di depan mata yang menjadi titik krusial Parma. Selain versus Genoa pada 1 Maret besok dalam laga away, juga sepekan kemudian di kandang sendiri versus Atalanta.
Entah apa yang akan terjadi. Satu yang pasti, 19 Maret nanti, otoritas Serie A akan memutuskan nasib Parma: selesai atau tidak. Regulasi Serie A menyebut, jika Parma bangkrut di pertengahan musim, mereka dicoret dari kompetisi. Lalu, Parma akan dinyatakan kalah WO di semua pertandingan sisa mereka. Ada lagi: hasil laga di putaran kedua Serie A yang sudah dimainkan Parma juga akan diubah menjadi kalah WO. Jika begini, maka Parma degradasi. Pasti.
Aspek finansial, memang, banyak mendera klub. Di mana pun. Di manca-negara. Di manca-kompetisi. Juga di Italia. Selain Parma, Napoli juga pernah disergap persoalan finansial tahun 2004. Tapi, apa yang dialami Parma sekarang ini benar-benar tragis.
Tiga kali berganti kepemilikan dalam dua bulan terakhir juga tak memberi solusi. Bermula dari Tomasso Ghirardi yang menjual 66,5 persen sahamnya ke pengusaha minyak asal Albania-Siprus, Rezart Taci.
Taci lalu melepas Parma ke Mapi Group, perusahaan dari Slovenia milik Giampietro Manenti dengan harga hanya 1 Euro. Tapi, Manenti pun tak berdaya keluar dari kesulitan. Minggu lalu dia pun menutup salah satu akun bank-nya di Slovenia. Parma kian berdarah-darah.


Manenti, datang dan harus menutup akun bank karena Parma.
“Menyakitkan. Situasi benar-benar berantakan,” ucap Hernan Crespo,bintang Argentina yang kini melatih Akademi Parma. Crespo berharap, organisasi dan siapa pun harus bergerak untuk menyelematkan Parma. “Kami mencintai klub ini,” katanya.
Parma kini memang terlilit utang, nyaris 200 juta Euro, sekitar Rp 2,8 triliun. Kehadiran Manenti dengan secercah harapan, ternyata tak memberi solusi. Presiden PSSI-nya Italia, Carlo Tavecchio pun sudah bertemu Presiden Lega Serie A, Maurizio Baretta plus walikota Parma, Federico Pizzarotti. Mereka membahas nasib Parma. Hasilnya? Masih nol.
Kalau kemudian pemain Parma, satu demi satu, meninggalkan Ennio Tardini, semua bisa paham. Antonio Cassano, eks Real Madrid, memutus kontraknya. Paolo De Ceglie kembali ke Juventus. Afriyie Acquah ke Sampdoria, Gabriel Paletta ke AC Milan, Andrea Rispoli ke Palermo, Nicola Pozzi ke Chievo, dan bek asal Brasil Dias Felipe juga hengkang.
Tapi, saat yang sama, Lucareli, kapten Parma yang sudah tujuh musim bercokol di klub ini, menegaskan dia tetap akan setia. “Saya sangat mencintai Parma. Bahkan hingga Parma harus degradasi ke Lega Dilettanti (Liga Amatir) sekali pun,” kata Lucarelli, kapten berusia 37 tahun yang sudah tujuh musim bersama Parma.
Seperti sinetron. Tapi drama Parma ini benar-benar fakta dan memberi banyak pelajaran para praktisi sepakbola: hidup tidak ada yang mudah.
Salam sepak bola.

0 Response to "Drama itu bernama Parma"

Posting Komentar

wdcfawqafwef